Soal Fufufafa, Ikrar Nusa Bhakti : Jejak Digital Tak Bisa Dihapus

Soal Fufufafa, Ikrar Nusa Bhakti : Jejak Digital Tak Bisa Dihapus

Soal Fufufafa, Ikrar Nusa Bhakti : Jejak Digital Tak Bisa Dihapus

October 9, 2024
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi dan mempengaruhi ranah politik. Dalam sebuah wawancara bersama Eddy Wijaya di EdShareOn, Prof. Ikrar Nusa Bhakti membahas isu yang tengah hangat, yaitu fenomena akun Fufufafa yang menyinggung pribadi tokoh politik Prabowo Subianto. Melalui diskusi ini, kita dapat melihat betapa kompleksnya interaksi antara politik, media, dan masyarakat saat ini.

Prof. Ikrar menyoroti bahwa jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Meskipun Kominfo telah membantah adanya hubungan langsung, Prof. Ikrar menekankan bahwa identitas di balik akun tersebut pasti akan terungkap pada akhirnya. Dalam konteks ini, ia juga menyebut pentingnya menjaga komunikasi politik agar tidak menyerang ranah pribadi. Hal ini menjadi penting dalam menjaga etika politik di tengah derasnya arus informasi digital

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Salah satu poin menarik yang disampaikan Prof. Ikrar adalah bahwa politik tidak mengenal kawan dan lawan yang abadi. Dalam situasi tertentu, seseorang yang sebelumnya dianggap lawan bisa saja menjadi sekutu. Ini adalah dinamika yang lazim dalam politik, di mana hubungan antar-tokoh bisa berubah sesuai dengan situasi. Ia mengingatkan bahwa penting bagi politisi untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan, karena jejak digital akan terus ada dan bisa kembali menghantui.

Selain itu, Prof. Ikrar juga menekankan bagaimana pengaruh netizen dalam membentuk opini politik semakin kuat. Menurutnya, informasi di era digital adalah kekuatan besar yang bisa digunakan baik untuk tujuan politik maupun ekonomi. Netizen yang terlibat aktif di media sosial memiliki peran besar dalam membentuk narasi politik, baik secara positif maupun negatif. Ini adalah fenomena yang semakin penting diperhatikan oleh para politisi.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Dalam wawancara ini, Eddy Wijaya mengajukan pertanyaan yang menarik tentang kemungkinan adanya upaya untuk memecah belah aliansi politik. Prof. Ikrar merespons dengan menyebutkan bahwa situasi politik saat ini memang tidak stabil dan sering terjadi friksi. Namun, ia juga mencatat bahwa hubungan antar-tokoh seperti Prabowo dan Gibran bukanlah hasil dari ideologi yang sama, melainkan kepentingan politik yang bisa berubah sewaktu-waktu.

Prof. Ikrar menutup wawancara dengan membahas peran wakil presiden dalam politik Indonesia. Ia menekankan bahwa jabatan ini, meskipun terlihat penting, sering kali hanya berfungsi sebagai ban serep. Dengan demikian, Gibran sebagai wakil presiden terpilih tidak boleh terlalu berharap mendapatkan peran yang signifikan dalam pemerintahan, kecuali jika situasi mendesak presiden untuk memberikan tugas tambahan.

Tags :

Recent Posts

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti, Transisi dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto

Ikrar Nusa Bhakti, Transisi dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto

Ikrar Nusa Bhakti, Transisi dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto

October 8, 2024
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam salah satu episode podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, Prof. Ikrar Nusa Bhakti memberikan pandangannya yang menarik tentang politik Indonesia, terutama terkait transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto. Salah satu isu yang diangkat adalah keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Menurut Prof. Ikrar, meskipun Jokowi berharap IKN dilanjutkan oleh Prabowo, kenyataannya masih banyak tantangan, baik dari segi anggaran maupun potensi pengembangan ekonomi di wilayah tersebut.

Prof. Ikrar juga menyoroti bahwa meskipun IKN dirancang untuk menjadi pusat pemerintahan, kenyataannya lahan tersebut belum siap secara sosial dan ekonomi. Wilayah Penajam Paser Utara, yang menjadi lokasi IKN, masih minim penduduk. Hal ini menimbulkan keraguan apakah IKN dapat berkembang seperti Canberra di Australia atau Washington DC di Amerika Serikat, yang keduanya merupakan ibu kota yang dirancang dengan matang dan bertumbuh seiring waktu.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Pembahasan menarik lainnya adalah soal potensi ‘pecah kongsi’ antara Jokowi dan Prabowo setelah Prabowo dilantik. Menurut Prof. Ikrar, hubungan politik mereka didasari oleh kepentingan, bukan keyakinan yang mendalam. Sebagai dua rival politik, Jokowi dan Prabowo tetap memiliki potensi untuk berseberangan di masa depan, mengingat sejarah mereka sebagai kontestan sengit di Pemilu 2019.

Hal yang lebih menarik adalah spekulasi bahwa Jokowi telah merancang masa depan politik putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini diposisikan sebagai calon wakil presiden. Prof. Ikrar menilai Jokowi telah berupaya menciptakan peluang bagi Gibran melalui berbagai langkah, termasuk intervensi terkait batas usia calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Langkah ini dianggap sebagai strategi jangka panjang Jokowi untuk mempertahankan pengaruh politiknya.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Prof. Ikrar juga membahas bagaimana Jokowi berperan dalam memfasilitasi pertemuan antara Prabowo dan Ganjar, dua tokoh politik yang sempat diisukan akan menjadi pasangan capres-cawapres. Namun kenyataannya, Jokowi tidak memiliki kendali penuh atas partai politik. Hal ini memperlihatkan dinamika politik yang rumit di Indonesia, di mana konsensus politik sulit dicapai meskipun ada campur tangan dari pemimpin negara.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Tantangan Politik di Era Jokowi Menurut Prof. Ikrar Nusa Bhakti

Tantangan Politik di Era Jokowi Menurut Prof. Ikrar Nusa Bhakti

Tantangan Politik di Era Jokowi Menurut Prof. Ikrar Nusa Bhakti

October 4, 2024
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam salah satu episode podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, topik menarik terkait politik Indonesia dibahas bersama Prof. Ikrar Nusa Bhakti. Salah satu sorotan utama adalah kegagalan Anies Baswedan dalam mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta dan bagaimana strategi politik di era Presiden Jokowi mempengaruhi dinamika politik tanah air. Diskusi ini mengungkapkan bagaimana kekuasaan dijaga melalui taktik-taktik politik yang terkadang tak kasat mata bagi masyarakat luas.

Prof. Ikrar mencurigai bahwa perhitungan suara Anies Baswedan dalam pemilihan presiden sebelumnya mungkin tidak mencerminkan hasil sesungguhnya. Beliau menyoroti kejanggalan dalam penghitungan suara elektronik Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menurutnya menunjukkan ketidakwajaran. Meskipun Anies menempati posisi kedua di bawah Prabowo Subianto, sistem perhitungan yang aneh menimbulkan pertanyaan besar, terutama dalam konteks pengaruh politik Jokowi.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Pembahasan ini juga mengungkap bagaimana Presiden Jokowi diduga berperan besar dalam memastikan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, masuk ke kancah politik nasional. Prof. Ikrar menyebutkan adanya intervensi politik dalam keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon wakil presiden. Intervensi ini diduga bertujuan untuk memuluskan jalan Gibran ke panggung politik nasional, meskipun banyak ahli hukum mengkritik langkah tersebut.

Menurut Ikrar, Anies Baswedan tetap menjadi ancaman bagi kekuatan politik Jokowi, terutama menjelang pemilu 2029. Meski survei menunjukkan popularitas Anies cukup tinggi, dukungan politik Jokowi terhadap Gibran diperkirakan dapat menghalangi jalan Anies. Prof. Ikrar juga menyoroti betapa pentingnya posisi Gubernur DKI Jakarta, yang memungkinkan sosok seperti Anies mendapatkan perhatian besar dari media massa.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Prof. Ikrar tak segan untuk mengkritik peran Jokowi dalam politik Indonesia, bahkan menyebutkan bahwa upaya Jokowi untuk memperkuat posisi keluarganya di politik bisa menjadi bumerang di masa depan. Prabowo Subianto, meskipun saat ini mendapat dukungan dari Jokowi, juga berpotensi masuk dalam perangkap politik yang sama, terutama saat Gibran siap bersaing sebagai calon presiden pada 2029.

Selain itu, Prof. Ikrar menekankan pentingnya membaca, baik secara harfiah maupun kontekstual. Ia menilai bahwa budaya membaca yang kurang dalam keluarga Jokowi, khususnya Gibran, dapat menjadi kelemahan besar dalam menghadapi tantangan politik yang kompleks. Sebaliknya, pemimpin yang memiliki wawasan luas dan kemampuan membaca situasi dengan baik akan lebih siap dalam mengambil keputusan yang berdampak pada publik.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti, Politik Sandra dan Strategi Kekuasaan Jokowi

Ikrar Nusa Bhakti, Politik Sandra dan Strategi Kekuasaan Jokowi

Ikrar Nusa Bhakti, Politik Sandra dan Strategi Kekuasaan Jokowi

October 3, 2024
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam salah satu episode menarik dari podcast EdShareOn, Eddy Wijaya berbincang dengan pakar politik Prof. Ikrar Nusa Bhakti mengenai isu-isu politik terkini. Salah satu topik yang mencuat adalah fenomena nepotisme dan kekuatan politik yang dipertahankan melalui berbagai strategi, termasuk apa yang disebut sebagai ‘politik sandra’. Pembahasan ini menyajikan pandangan kritis terhadap kondisi politik di Indonesia, terutama di bawah pemerintahan Jokowi.

Prof. Ikrar mengawali pembahasan dengan menggarisbawahi bagaimana kekuasaan dapat dimiliki melalui berbagai jalur, mulai dari kekuatan ekonomi hingga penguasaan informasi. Di era modern, kata Ikrar, penguasaan atas informasi penting menjadi senjata ampuh bagi pemegang kekuasaan, termasuk dalam konteks politik di Indonesia. Hal ini terlihat dalam cara Presiden Jokowi memanfaatkan jaringan informasi dan kekuatan fisik, khususnya dalam hubungannya dengan TNI dan Polri, untuk mempertahankan kekuasaannya.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Salah satu isu yang menonjol dalam diskusi ini adalah apa yang disebut sebagai ‘politik sandra’. Menurut Prof. Ikrar, di era Jokowi, beberapa keputusan politik besar, seperti pergantian Ketua Umum Golkar, sering kali didorong oleh informasi rahasia atau tekanan tertentu. Ini menggambarkan bagaimana kekuasaan sering kali dikaitkan dengan kemampuan untuk menyimpan dan memanfaatkan informasi sensitif yang dapat digunakan untuk ‘menyandera’ lawan politik.

Selain itu, Ikrar juga menyinggung keterlibatan institusi-institusi besar, seperti Polri dan KPK, dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Menurutnya, Jokowi sangat berhati-hati dalam mengatur posisi strategis ini, misalnya dengan mempertahankan Kapolri Sigit dan pengangkatan komisioner baru KPK sebelum masa jabatan berakhir. Hal ini mencerminkan strategi jangka panjang Jokowi untuk menjaga kekuasaan dan mencegah potensi ancaman di masa depan.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Diskusi juga mencakup kritik terhadap perubahan undang-undang yang dianggap mengurangi kekuatan KPK. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa revisi undang-undang KPK pada 2019, khususnya terkait pembentukan dewan pengawas dan kewenangan penyadapan, telah melemahkan kemampuan lembaga ini dalam memberantas korupsi. Menurutnya, KPK perlu dikembalikan kepada marwahnya yang asli agar dapat berfungsi efektif sebagai lembaga independen.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Kritik Prof. Ikrar Nusa Bhakti Soal Lokasi IKN

Kritik Prof. Ikrar Nusa Bhakti Soal Lokasi IKN

Kritik Prof. Ikrar Nusa Bhakti Soal Lokasi IKN

October 2, 2024
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam salah satu episode podcast EdShareOn, Eddy Wijaya berbincang dengan Prof. Ikrar Nusa Bhakti mengenai berbagai isu politik, termasuk pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dan pengaruh budaya Jawa dalam politik Indonesia. Wawancara ini memberikan pandangan yang menarik tentang rencana besar pemerintah dan tantangan yang dihadapi terkait keberlanjutan IKN.

Prof. Ikrar memulai dengan mengkritik lokasi IKN yang dianggapnya kurang tepat. Menurutnya, Penajam Pasir Utara di Kalimantan Timur menghadapi kendala besar dalam hal infrastruktur dan lingkungan. Salah satu faktor utama yang diangkat adalah masalah air yang sulit didapat di daerah tersebut. Kondisi lahan gambut serta kualitas air yang rendah menjadi tantangan serius untuk kebutuhan pertanian dan perikanan, dua sektor penting yang mendukung kehidupan di wilayah tersebut.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Dalam perbincangan itu, Prof. Ikrar juga mengkritisi dari sisi pertahanan negara. Ia menyoroti bahwa lokasi IKN di Kalimantan Timur membuat sistem pertahanan Indonesia seperti ‘telanjang’, berbeda dengan Jakarta yang sejak zaman kolonial Belanda sudah dirancang dengan sistem pertahanan yang matang. Kondisi geografis dan struktur tanah di Kalimantan Timur juga dinilai tidak memadai untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, terutama jika dibandingkan dengan ibu kota yang sudah memiliki sejarah panjang dalam hal pertahanan.

Eddy Wijaya juga mengangkat pembahasan tentang bagaimana pengaruh budaya Jawa terus hadir dalam politik Indonesia. Prof. Ikrar menyebut bahwa sejak awal pemerintahan, Presiden Jokowi sering diibaratkan sebagai ‘raja kecil Jawa’, namun kritik dari rekan-rekannya justru melihat Jokowi sebagai sosok yang ingin menjadi ‘Raja Nusantara’. Hal ini menjadi simbol dari ambisi politik Jokowi, termasuk dalam memindahkan Ibu Kota.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Selain itu, perbincangan ini juga menyentuh mengenai sejarah kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya. Kedua kerajaan ini digambarkan sebagai penguasa yang memiliki sistem pertahanan laut dan darat yang kuat. Prof. Ikrar menyoroti bahwa warisan kerajaan ini masih menjadi bagian dari kebanggaan Indonesia, meskipun banyak bagian dari sejarah mereka yang justru diakui di luar negeri, seperti di Thailand.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti, Dari Pendukung Setia Jokowi Hingga Berbalik Jadi Kritikus

Ikrar Nusa Bhakti, Dari Pendukung Setia Jokowi Hingga Berbalik Jadi Kritikus

Ikrar Nusa Bhakti, Dari Pendukung Setia Jokowi Hingga Berbalik Jadi Kritikus

September 30, 2024
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam salah satu episode menarik podcast EdShareOn, Eddy Wijaya mewawancarai Prof. Ikrar Nusa Bhakti, seorang akademisi sekaligus mantan Duta Besar Indonesia untuk Tunisia. Wawancara tersebut mengangkat tema yang cukup sensitif, yaitu pandangan Prof. Ikrar terhadap Presiden Jokowi. Prof. Ikrar yang dulu merupakan pendukung setia Jokowi, kini berbalik menjadi salah satu kritikus terbesarnya. Ia bahkan mengungkapkan perasaan emosional hingga menangis ketika menulis tentang Jokowi di tahun 2023.

Prof. Ikrar memulai ceritanya dengan pengalaman kagetnya saat kembali ke Indonesia pada 2021 setelah bertugas di Tunisia. Menurutnya, teman-teman yang dulu bersama-sama mendukung Jokowi kini bersikap berbeda. Kehangatan dan semangat kebersamaan yang dulu ada, kini seolah menghilang. Rasa keterasingan ini membuat Prof. Ikrar merasa seperti ‘alien’ di antara teman-temannya sendiri.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Salah satu tokoh yang menjadi sorotan dalam kritik Prof. Ikrar adalah Rocky Gerung. Ia menyebutkan bahwa Rocky, yang juga teman lamanya, memberikan kritik keras terhadap Jokowi. Selain itu, Prof. Ikrar juga menyebutkan Fadli Zon, tokoh politik yang selalu memberikan kritik pedas terhadap Jokowi, khususnya mengenai pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.

Dalam percakapannya dengan Eddy Wijaya, Prof. Ikrar menjelaskan bahwa setelah merenung, ia mulai menyadari bahwa beberapa kritik yang dilontarkan Rocky Gerung dan Fadli Zon memang ada benarnya. Ia menyadari bahwa keberhasilan pemerintah tidak bisa hanya diukur dari jumlah jalan tol yang dibangun, terutama karena banyak di antaranya dibangun oleh swasta dan bersifat berbayar.

Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Ikrar Nusa Bhakti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Namun, kekecewaan terbesar Prof. Ikrar muncul ketika ia melihat degradasi demokrasi di Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Menurutnya, Jokowi bukan hanya gagal menjaga semangat demokrasi, tetapi juga justru membangkitkan kembali nepotisme yang dulu menjadi momok di era Orde Baru. Hal ini terlihat dari bagaimana Jokowi mencoba menjadikan anak-anaknya seperti Kaesang dan Bobby Nasution untuk terjun ke panggung politik.

Dalam wawancara tersebut, Prof. Ikrar tidak bisa menyembunyikan emosinya. Ia mengakui bahwa pandangannya terhadap Jokowi telah berubah drastis. Sosok yang dulu ia dukung kini dianggapnya telah lupa akan asal-usulnya dan orang-orang yang dulu membantunya mencapai kekuasaan. Dengan kata lain, Jokowi dianggap terlalu sibuk mengejar kekuasaan hingga mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Calon Independen dan Tantangan Ekonomi Indonesia

Calon Independen dan Tantangan Ekonomi Indonesia

Calon Independen dan Tantangan Ekonomi Indonesia

September 27, 2024
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Said Iqbal. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah diskusi di podcast EdShareOn, Eddy Wijaya bersama dengan Said Iqbal membahas dinamika politik dan ekonomi di Indonesia, terutama terkait dengan sistem presidensial yang abu-abu dan tantangan yang dihadapi oleh calon presiden independen. Eddy Wijaya mengawali dengan pertanyaan seputar sistem Pilpres dan kemungkinkan calon independen ikut serta dalam pemilihan presiden. Said Iqbal menjelaskan, meskipun calon independen sudah diizinkan, sistem yang berlaku di Indonesia masih tergantung pada kekuatan partai politik.

Menurut Said Iqbal, jika calon independen diperbolehkan, presiden yang terpilih kemungkinan akan menghadapi tantangan dalam hal dukungan legislatif. Sebab dalam sistem politik Indonesia yang semi-parlementer, legislatif dan eksekutif dipilih bersamaan, sehingga calon independen tidak memiliki cukup waktu untuk membangun basis partai di parlemen. Ini berbeda dengan sistem di negara lain seperti Prancis, di mana presiden terpilih lebih dulu, baru kemudian pemilihan legislatif diadakan, sehingga presiden dapat membentuk partai yang mendukung kebijakannya.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Sistem ini, menurut Said Iqbal, sering kali menempatkan presiden dalam posisi yang tergantung pada DPR untuk mendapatkan dukungan, terutama dalam pembentukan kebijakan. Meski secara konstitusi presiden tidak bergantung pada DPR, kenyataannya presiden tetap memerlukan koalisi dengan partai-partai untuk meloloskan kebijakan. Hal ini menyebabkan pembagian jatah-jatah menteri dan posisi strategis menjadi tak terelakkan.

Selain itu, Eddy Wijaya dan Said Iqbal juga membahas fenomena PHK yang melanda Indonesia. Said Iqbal, dengan latar belakangnya di bidang ekonomi, menyebut bahwa salah satu faktor yang menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah penurunan daya beli, terutama di kalangan kelas menengah. Penurunan daya beli ini, menurutnya berkaitan erat dengan stagnasi upah dan gelombang PHK yang terjadi di berbagai sektor terutama di sektor industri.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Diskusi ini juga menyentuh aspek lain dari ketenagakerjaan di Indonesia. Masalah yang dihadapi pengusaha bukan hanya soal upah pekerja, tetapi juga faktor-faktor eksternal seperti overhead cost dan regulasi yang membebani produksi. Ia mencontohkan bagaimana proses ekspor-impor di Indonesia seringkali terhambat oleh birokrasi, termasuk pungutan tidak resmi yang menambah beban pengusaha.

Selain itu, Eddy Wijaya juga menyoroti bahwa banyak pengusaha memilih untuk memindahkan produksi mereka ke negara-negara seperti Vietnam, yang dianggap lebih kompetitif dalam hal produktivitas dan regulasi. Said Iqbal menambahkan bahwa produktivitas di Indonesia tidak hanya soal sumber daya manusia, tetapi juga terkait dengan teknologi dan regulasi yang mendukung. Menurutnya, jika teknologi yang digunakan oleh industri di Indonesia tidak diperbarui, maka produktivitas akan tetap tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Partai Buruh dan Tantangan Politik di Indonesia

Partai Buruh dan Tantangan Politik di Indonesia

Partai Buruh dan Tantangan Politik di Indonesia

September 26, 2024
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Said Iqbal. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Diskusi antara Eddy Wijaya dan Said Iqbal di podcast EdShareOn, menyuguhkan pandangan menarik mengenai dinamika politik Indonesia saat ini. Salah satu topik utama yang dibahas adalah bagaimana Anies Baswedan berpotensi membentuk partai baru dan bagaimana Partai Buruh berperan dalam membuka jalan bagi calon-calon kepala daerah dari latar belakang sederhana. Dalam diskusi tersebut, Said Iqbal bahkan sempat berseloroh bahwa Anies seharusnya bergabung dengan Partai Buruh untuk memajukan aspirasi politiknya.

Eddy Wijaya bertanya kepada Said Iqbal, “Kenapa Bung Ibal nggak ngajak aja Anies Baswedan masuk ke partai Buruh?”. Iqbal mengatakan jika ia pernah mengusulkan hal tersebut kepada Anies saat kunjungannya ke kantor Partai Buruh. Said Iqbal menggambarkan situasi politik ini dengan membandingkan perjalanan Emmanuel Macron di Prancis, yang berhasil menang sebagai presiden sebelum mendirikan partai barunya. Menurut Iqbal, peluang seperti ini dapat terjadi di Indonesia, namun dengan tantangan yang jauh lebih besar.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Tantangan utama yang disoroti Said Iqbal dalam diskusi ini adalah betapa sulitnya mendirikan partai politik di Indonesia. Menurutnya, verifikasi administratif dan faktual yang ketat menjadi hambatan besar, terutama untuk partai baru. Said Iqbal menjelaskan, bahwa banyak daerah di Indonesia, terutama daerah-daerah kecil dan terpencil, mungkin tidak memiliki dukungan yang cukup untuk partai baru seperti yang ingin didirikan oleh Anies.

Ia menegaskan bahwa mendirikan partai baru bukanlah soal mudah, terutama di negara sebesar Indonesia dengan keragaman politik dan geografis yang luas. Dalam hal ini, Partai Buruh menjadi contoh nyata bagaimana partai kecil bisa bertahan dan berkembang meski menghadapi banyak tantangan. Dengan dukungan yang kuat dari akar rumput, partai-partai seperti Partai Buruh mampu mencalonkan individu-individu yang mungkin tidak berasal dari kalangan elit, tetapi memiliki dukungan kuat dari masyarakat.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Diskusi ini juga menyinggung isu demokrasi yang sering kali dibajak oleh kepentingan politik tertentu. Said Iqbal dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi harus memberikan ruang yang setara bagi semua pihak, tanpa adanya kekerasan atau praktik transaksional. Ia menyoroti kasus-kasus di mana calon independen dan partai kecil sulit bersaing karena koalisi besar yang sering kali mendominasi. Hal ini menyebabkan kotak kosong dalam beberapa Pilkada, yang mencerminkan kurangnya persaingan sehat di beberapa daerah.

Pada akhirnya, Said Iqbal menekankan bahwa cita-cita politik bukan semata-mata tentang menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana memperjuangkan keyakinan dan prinsip yang diyakini. Dengan platform seperti EdShareOn, masyarakat dapat lebih memahami perjuangan partai-partai kecil seperti Partai Buruh dalam menciptakan keadilan politik di Indonesia.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Perjuangan Partai Buruh Mewujudkan Pilkada yang Adil

Perjuangan Partai Buruh Mewujudkan Pilkada yang Adil

Perjuangan Partai Buruh Mewujudkan Pilkada yang Adil

September 25, 2024
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Said Iqbal. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah diskusi antara Eddy Wijaya dan Said Iqbal, topik yang diangkat adalah perubahan signifikan dalam aturan Pilkada, khususnya setelah Partai Buruh berhasil mengajukan judicial review yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Eddy Wijaya mengapresiasi langkah ini, yang membuat partai kecil tanpa kursi di parlemen, seperti Partai Buruh, kini dapat mencalonkan kepala daerah.

Said Iqbal, ketua Partai Buruh, menekankan bahwa ini bukan hanya tentang aturan teknis, tetapi tentang rasa keadilan. Dia mengatakan bahwa MK merespons kegelisahan banyak pihak, terutama partai kecil. “Kami minta MK untuk menyamakan syarat bagi partai politik dan calon perseorangan,” jelas Iqbal.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Eddy Wijaya dan Said Iqbal juga membahas penurunan ambang batas dukungan partai politik dalam Pilkada, dari 20% menjadi 6,5% suara sah nasional. Dengan ambang batas yang lebih rendah, partai-partai kecil memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengajukan calon mereka. “Ini memberi banyak pilihan kepada rakyat,” kata Eddy Wijaya. Said Iqbal setuju dan menambahkan, “Demokrasi harus memberikan ruang bagi siapa pun untuk dipilih dan memilih.”

Diskusi ini juga menyinggung tentang perubahan batas usia calon kepala daerah, yang awalnya harus 30 tahun pada saat pelantikan, menjadi 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU. Iqbal menilai bahwa MK membuat keputusan ini atas dasar hati nurani, mengingat MK sebelumnya mendapat sorotan publik terkait batas usia cawapres. Perubahan ini menurut Iqbal, membuat Pilkada lebih demokratis dan memberikan kesempatan kepada lebih banyak calon potensial.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Salah satu momen penting dalam diskusi ini adalah pembahasan tentang pencalonan Anies Baswedan. Eddy Wijaya menyoroti bahwa meskipun MK telah membuat perubahan yang signifikan, kenyataannya Anies Baswedan tidak dapat maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Said Iqbal menjelaskan bahwa Partai Buruh tetap konsisten mendukung Anies karena keinginan mayoritas rakyat Jakarta, berdasarkan hasil survei. Namun, keputusan politik dari partai-partai besar menghalangi jalan Anies untuk maju.

Pada akhirnya, Said Iqbal menegaskan bahwa perjuangan Partai Buruh bukanlah semata soal menang atau kalah. “Cita-cita kami adalah tentang keyakinan. Bukan soal hasil akhir, tapi tentang bagaimana kita berjuang untuk mewujudkan cita-cita tersebut,” ungkapnya.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal, Perjuangan Buruh dan Harapan Masa Depan

Said Iqbal, Perjuangan Buruh dan Harapan Masa Depan

Said Iqbal, Perjuangan Buruh dan Harapan Masa Depan

September 24, 2024
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Said Iqbal. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah episode podcast EdShareOn, Eddy Wijaya berbincang dengan Said Iqbal, Presiden Partai Buruh, tentang perjalanan panjang dan tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan hak-hak buruh di Indonesia. Said Iqbal, yang telah aktif di dunia serikat buruh selama lebih dari tiga dekade, membagikan pemikirannya tentang bagaimana buruh tidak hanya perlu dilindungi dalam hal ekonomi, tetapi juga memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Said Iqbal menjelaskan bahwa gerakan buruh tidak hanya berhenti pada aksi-aksi demonstrasi, tetapi juga mencakup strategi lobi dan politik. “Kita memiliki konsep lobi, aksi, dan politik. Kami lobi DPR, pemerintah, dan stakeholder lainnya. Jika lobi tidak membuahkan hasil, barulah kami mengadakan aksi,” jelasnya. Konsep ini, menurut Said, diambil dari pengalaman internasionalnya sebagai anggota ILO Governing Body, di mana ia terlibat dalam berbagai perundingan buruh di tingkat global.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Eddy Wijaya menyoroti betapa pentingnya keseimbangan antara tuntutan buruh dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Said Iqbal menjelaskan bahwa standar upah diatur dalam konvensi ILO Nomor 133, di mana kebutuhan dasar pekerja harus dipenuhi terlebih dahulu. Namun, ia juga menekankan pentingnya keterbukaan dari pihak perusahaan. “Jika perusahaan jujur dan transparan tentang kondisi keuangannya, buruh akan lebih memahami situasi tersebut. Kuncinya adalah saling percaya dan transparansi,” tegasnya.

Selain membahas strategi perjuangan buruh, Said Iqbal juga berbicara tentang kebangkitan kembali Partai Buruh yang ia pimpin. Meskipun Partai Buruh belum mendapatkan kursi di tingkat nasional, Said yakin bahwa partai ini akan semakin kuat pada pemilu-pemilu berikutnya. “Kami tidak didukung oleh cukong atau bandar, kami hanya mengandalkan iuran dari anggota serikat buruh,” ungkap Said. Pengalaman dari negara-negara lain seperti Brasil dan Inggris mengajarkannya bahwa butuh waktu untuk membangun kekuatan politik yang berbasis pada gerakan buruh.

Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Said Iqbal saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Melalui podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, Said Iqbal juga menyampaikan visi Partai Buruh untuk membangun negara kesejahteraan. “Kau boleh kaya, tapi jangan miskinkan kami,” kata Said. Ia menekankan tiga prinsip utama yaitu kesetaraan kesempatan, redistribusi kekayaan melalui jaminan sosial, dan tanggung jawab publik dalam pengelolaan anggaran negara. Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi perjuangan Partai Buruh untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih adil bagi seluruh masyarakat, terutama buruh, petani, dan nelayan.

Dengan optimisme yang kuat, Said Iqbal percaya bahwa pada pemilu 2029, Partai Buruh akan menjadi kekuatan politik yang lebih besar. “Kami yakin akan masuk ke papan tengah pada pemilu 2029 dan menjadi kekuatan dominan pada pemilu 2034,” ujarnya.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)