Tantowi Yahya. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Dalam sebuah episode podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, Tantowi Yahya, mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, berbagi pengalamannya dalam diplomasi internasional dan politik. Percakapan ini menyajikan pandangan unik tentang bagaimana seorang politisi Indonesia menjalankan peran strategis di luar negeri, sekaligus refleksi atas dinamika politik nasional. Artikel ini merangkum berbagai poin penting dari diskusi menarik antara Eddy Wijaya dan Tantowi Yahya.
Sebagai Duta Besar di Selandia Baru sejak 2017, Tantowi Yahya mengungkapkan kesannya terhadap peran tersebut. Ia menilai bahwa menjadi duta besar adalah salah satu pengalaman paling berkesan dalam kariernya yang beragam. “Ketika menjadi duta besar, kita adalah wakil Presiden di negara tempat kita ditempatkan,” ujarnya. Peran ini bukan hanya membawa hak diplomatik, tetapi juga tanggung jawab besar dalam menjaga hubungan antara kedua negara.
Selain urusan diplomasi, Tantowi Yahya juga membahas tentang kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Selandia Baru. “New Zealand adalah salah satu mitra utama Indonesia dalam bidang pertanian, terutama impor daging biri-biri dan susu,” jelasnya. Namun, Tantowi menyoroti satu hambatan besar dalam memperdalam kerja sama ini, yaitu monopoli PLN dalam sektor energi. “Kalau undang-undangnya berubah, kerja sama kita bisa jauh lebih kuat,” ujarnya. Poin ini memberikan gambaran tantangan regulasi yang dihadapi Indonesia dalam menarik investasi luar negeri.
Isu Papua juga menjadi topik pembicaraan, di mana Tantowi Yahya menanggapi insiden tragis yang melibatkan seorang pilot dari Selandia Baru yang menjadi korban kekerasan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Tantowi menyebut peristiwa ini sebagai “pukulan berat” bagi hubungan kedua negara dan mengutuk keras kekerasan tersebut. Melalui perbincangan ini, *EdShareOn* menyoroti pentingnya keamanan dan stabilitas dalam menjalin hubungan diplomatik.
Tantowi Yahya juga berbagi pandangannya tentang karier politiknya. Sebagai politisi Golkar, ia mencermati betapa beratnya perjuangan untuk mendapatkan kursi di parlemen. “Saya sudah merasa lelah,” katanya, menyoroti beban logistik yang besar dalam memenangkan pemilu. Tantowi menegaskan bahwa ia lebih memilih realistis, mengingat biaya politik yang tidak sebanding dengan gaji seorang anggota DPR.
Sementara itu, tawaran untuk mencalonkan diri sebagai gubernur di beberapa daerah juga muncul. “Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, melihat potensi saya di Kalimantan Barat, Bali, hingga Sumatera Selatan,” ungkapnya. Namun, Tantowi merasa bahwa dirinya tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk bersaing dalam politik daerah, meski popularitasnya di kalangan masyarakat masih kuat.
Diskusi ini juga menyoroti keputusan Airlangga Hartarto untuk mundur dari Golkar, yang menurut Tantowi, adalah hasil dari berbagai tekanan baik internal maupun eksternal. Keputusan ini mencerminkan betapa dinamisnya dunia politik, di mana setiap langkah harus diambil dengan pertimbangan matang.
Tags :