Oegroseno Ungkap Cara Memperbaiki Citra Kepolisian

Oegroseno Ungkap Cara Memperbaiki Citra Kepolisian

Oegroseno Ungkap Cara Memperbaiki Citra Kepolisian

October 31, 2024
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Oegroseno. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah wawancara eksklusif di EdShareOn, Eddy Wijaya bersama mantan Wakil Kepala Polri, Oegroseno, membahas pandangan mengenai citra polisi di mata masyarakat dan peran penting pelayanan publik yang humanis dalam meraih kembali kepercayaan publik. Eddy membuka wawancara dengan mengutarakan fakta bahwa citra kepolisian di masyarakat saat ini cenderung menurun, yang didasari oleh sejumlah praktik di lapangan yang bertentangan dengan prinsip dasar kepolisian yang seharusnya mengayomi.

Oegroseno menjelaskan bahwa salah satu yang perlu dibenahi dari pelayanan kepolisian adalah menghilangkan kebijakan tambahan biaya yang dikenakan kepada masyarakat. Mulai dari parkir hingga pengurusan SIM, masyarakat yang datang untuk mendapatkan pelayanan sering kali dikenakan biaya parkir atau biaya tambahan lainnya. Menurut Oegroseno, “Salah satu aspek yang paling dasar dalam pelayanan publik adalah memberikan kenyamanan bagi masyarakat, tanpa ada beban tambahan.”

Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Selain itu, Oegroseno menyoroti perlunya sikap kepolisian yang lebih persuasif dalam menangani situasi konflik, seperti peristiwa tawuran atau kerusuhan. Menurutnya, pendekatan represif yang menggunakan senjata atau kendaraan berisirine malah sering membuat masyarakat merasa cemas dan tidak nyaman. Ia berpendapat bahwa polisi bisa mengambil langkah lebih damai, seperti memakai pengeras suara dan mengedepankan himbauan terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. “Memprioritaskan keselamatan warga di sekitar, bahkan pelaku kriminal sekalipun, adalah bagian dari tugas polisi untuk melindungi nyawa manusia,” ujar Oegroseno.

Menanggapi berbagai insiden yang berakhir dengan korban jiwa, Eddy bertanya mengenai standar operasional prosedur (SOP) yang ideal dalam menghadapi kerusuhan. Oegroseno menjelaskan bahwa polisi seharusnya menggunakan pendekatan yang lebih humanis. Ia mencontohkan pengalaman pelatihannya di Amerika Serikat, di mana tujuan utama polisi adalah menyelamatkan semua nyawa di lokasi, baik dari pelaku maupun korban. “Keberhasilan polisi adalah saat masyarakat merasa aman dengan kehadiran polisi, bukan takut,” katanya.

Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Eddy Wijaya juga menyinggung kebiasaan penggunaan sirene yang berlebihan, yang sering kali memicu kepanikan di masyarakat. Oegroseno mengakui bahwa kebisingan sirene bisa menimbulkan kegelisahan dan kericuhan. Ia menyarankan adanya peraturan khusus yang mengatur penggunaan sirene oleh aparat untuk menghindari situasi yang tidak diinginkan dan menjaga ketenangan di masyarakat.

Pendekatan humanis ini, menurut Oegroseno, harus dikembalikan kepada seluruh polisi sebagai tugas pokok, agar masyarakat melihat polisi sebagai mitra yang siap membantu tanpa rasa takut. Ia bahkan mengatakan bahwa pada masa lalu, polisi sering dipandang sebagai sosok menakutkan, tetapi saat ini peran mereka harus lebih seperti seorang sahabat bagi masyarakat. Di akhir wawancara, Eddy menyoroti pentingnya menjaga citra polisi agar tetap positif, dan bagaimana kepercayaan publik terhadap kepolisian harus dibangun kembali melalui reformasi yang komprehensif.

Tags :

Recent Posts

Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Hafid Abbas: Pemicu Terorisme adalah Ketidakadilan

Hafid Abbas: Pemicu Terorisme adalah Ketidakadilan

Hafid Abbas: Pemicu Terorisme adalah Ketidakadilan

October 30, 2024
Hafid Abbas saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Hafid Abbas. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTAMantan Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafid Abbas mengungkapkan pemicu munculnya aksi terorisme di Indonesia akarnya adalah ketidakadilan. Sejumlah kasus seperti penggusuran rumah warga, pengambilalihan lahan oleh pengusaha yang didukung pemerintah, membuat sebagian masyarakat mengambil tindakan di luar kewajaran.

“Gimana misalnya orang diambil tanahnya di pulau, digusur, kalau dia keberatan lalu disebut teroris? Itu bukan teroris. Dia radikal karena diperlakukan tidak adil. Jadi hampir semua kasus-kasus seperti itu, akarnya ketidakadilan,” ujar Hafid kepada host Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 30 Oktober 2024.

Hafid Abbas saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Hafid Abbas saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1957 itu mencontohkan kebijakan Pemerintah DKI Jakarta yang menggusur permukiman warga di Kalijodo, Jakarta Utara, pada 2016. Kala itu warga melapor kepada Komnas HAM karena merasa tidak mendapatkan keadilan dari kebijakan tersebut.

“Dia (Pelapor) mau bunuh diri. Karena sudah renovasi rumahnya. Sejak 1957 rumahnya punya sertifikat. Dia pinjam ke bank, tiba-tiba digusur. Jadi merasa tidak ada lagi artinya hidup. Kalau dia punya bom, dia bom semua orang. Itu tidak bisa dikatakan teroris,” ucap Hafid. “Makanya, perlu menghadirkan Pancasila pada negara yang ber-Pancasila ini,” ucapnya menambahkan.

Hafid Abbas saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Hafid Abbas saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Hafid lantas merunut asal mula isu terorisme. Menurutnya, isu terorisme berkaitan dengan isu Islamophobia yang diciptakan Amerika Serikat untuk mendukung militansi Afganistan dalam perang dengan Uni Soviet sekitar 1979. Tujuannya, kata Hafid, agar Uni Soviet atau sekarang Rusia segera hengkang dari wilayah okupasinya di Afganistan. Oleh karenanya, Hafid menegaskan terorisme bukanlah isu agama. “(Karena) tidak ada agama yang mau (mengajarkan) bunuh diri,” ucapnya.

Kendati demikian, guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu tidak menampik penyebab terorisme yang terjadi di sejumlah negara karena paham maupun kelompok pemikiran seperti ISIS. “Tapi di Indonesia bukan itu penyebabnya, bukan. Tapi sekali lagi ketidakadilan,” katanya tegas.

Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya

Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Tiga Pilar Pemberantasan Korupsi Menurut Novel Baswedan

Tiga Pilar Pemberantasan Korupsi Menurut Novel Baswedan

Tiga Pilar Pemberantasan Korupsi Menurut Novel Baswedan

October 30, 2024
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Novel Baswedan. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Di kanal YouTube EdShareOn, Eddy Wijaya menggali pandangan Novel Baswedan tentang berbagai aspek dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Novel yang mantan penyidik KPK yang kini bekerja sebagai ASN di kepolisian, memberikan pandangan mendalam mengenai upaya yang diperlukan untuk mengatasi korupsi secara efektif, yakni melalui pendekatan tiga pilar yaitu tindakan, pencegahan, dan pendidikan.

Dalam wawancara tersebut, Novel menegaskan bahwa tindakan pemberantasan yang efektif memerlukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun pemberantasan korupsi bukan hanya soal menangkap pelaku, melainkan juga memerlukan pendekatan yang mendorong pejabat untuk menolak praktik suap. “Ketika seorang pejabat menerima suap, dia sebenarnya melakukan kejahatan karena tidak menjaga integritasnya,” ujar Novel.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Novel juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan anti-korupsi untuk mencegah korupsi dari akar. Pendidikan yang menyadarkan individu tentang kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi akan membantu membangun sikap menolak praktik tersebut. Namun, ia menambahkan, “Ketika sistem atau lingkungan kerja penuh dengan tekanan untuk melakukan korupsi, sulit bagi seseorang untuk tetap teguh dengan nilai-nilai yang diajarkan.”

Eddy setuju, menyoroti bahwa banyak pelaku korupsi terpaksa melakukannya karena tekanan atau kendala birokrasi. Novel kemudian menekankan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang holistik akan lebih efektif jika ketiga pilar yang meliputi tindakan, pencegahan, dan pendidikan bisa berjalan bersamaan dan saling melengkapi.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Eddy Wijaya juga menyinggung mengenai buronan Harun Masiku yang hingga kini belum tertangkap. Novel menjelaskan, proses penangkapan buron bukanlah tugas yang sederhana, sebab membutuhkan pemantauan, pengamatan, dan investigasi yang berkelanjutan. Menurut Novel, ketelitian dan konsistensi dalam proses tersebut sangat penting untuk menjamin keberhasilan penangkapan.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan, Tantangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Novel Baswedan, Tantangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Novel Baswedan, Tantangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

October 25, 2024
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Novel Baswedan. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah wawancara eksklusif di kanal YouTube EdShareOn, Eddy Wijaya berbincang bersama Novel Baswedan mengenai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Novel adalah seorang mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini bergabung sebagai ASN di Kepolisian, memiliki tugas untuk membentuk Satgas Pencegahan Korupsi. Perbincangan ini mencakup berbagai tantangan dan dilema dalam sistem anti-korupsi, serta pandangannya tentang kebutuhan reformasi yang mendesak di lembaga penegak hukum.

Novel memulai penjelasan dengan menggarisbawahi peran Satgas dalam mencegah tindak korupsi melalui deteksi dini dan rekomendasi perbaikan sistem pada kementerian dan lembaga. Menurutnya, upaya pencegahan hanya akan efektif jika instansi-instansi terkait memiliki niat yang kuat untuk memperbaiki tata kelola dan menjauhi korupsi. “Pencegahan itu soal niat dan kerja sama,” jelasnya. Novel juga menegaskan bahwa meski pencegahan bukan penindakan, langkah-langkah ini bisa berdampak positif selama instansi yang diawasi benar-benar berkomitmen memperbaiki diri.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Dalam diskusi ini, Eddy Wijaya kemudian menyoroti reputasi Polri yang menurut data indeks Mundi disebut sebagai institusi dengan tingkat korupsi tertinggi di Asia Tenggara. Menanggapi hal ini, Novel mengungkapkan bahwa tugas pemberantasan korupsi di dalam Polri sendiri bukan bagian dari tanggung jawab Satgas yang ia pimpin, tetapi dipercayakan kepada Propam dan Itwasum. Novel menekankan pentingnya kolaborasi seluruh pihak dalam mewujudkan reformasi menyeluruh agar lembaga penegak hukum dapat menjadi teladan yang baik di mata publik.

Topik selanjutnya menyoroti kondisi internal KPK dan lemahnya komitmen pimpinan KPK dalam memberantas korupsi. Novel secara terbuka membahas sejumlah kasus yang tidak terselesaikan di lembaga tersebut, seperti kasus suap yang melibatkan oknum penyidik KPK. Ia menyebutkan bahwa KPK seharusnya mengusut tuntas fakta-fakta di persidangan yang terkuak dalam beberapa kasus korupsi, namun kurangnya niat dari pimpinan membuat banyak kasus besar tidak dilanjutkan. Menurut Novel, hal ini menunjukkan bahwa pimpinan KPK masih memiliki tantangan besar dalam membangun integritas lembaga.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Selain itu, Eddy dan Novel turut mengulas kasus Harun Masiku, buronan KPK yang belum tertangkap hingga saat ini. Novel menjelaskan bahwa proses penangkapan Harun Masiku memerlukan upaya intensif, mulai dari pengumpulan informasi hingga pemantauan keberadaannya. Menurutnya, teknologi dan keterampilan di KPK masih memadai, tetapi kemauan pimpinan untuk mendukung sepenuhnya kerja pegawai menjadi kunci yang memengaruhi hasil.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Harus Ada Ganti Rugi bagi 8 Terpidana Kasus Vina Cirebon

Harus Ada Ganti Rugi bagi 8 Terpidana Kasus Vina Cirebon

Harus Ada Ganti Rugi bagi 8 Terpidana Kasus Vina Cirebon

October 23, 2024
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Oegroseno. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Kepada Eddy Wijaya, Oegroseno mendesak pemerintah memberikan ganti rugi kepada 8 terpidana kasus Vina Cirebon. Desakan itu tak lepas dari bukti kuat 8 terpidana adalah korban salah tangkap polisi. “Mudah-mudahan pemerintah dengar, kalau ada korban salah proses kemudian dihukum (ganti ruginya) Rp 100 miliar lah,” katanya.

Pernyataan Oegro tersebut berdasarkan Pasal 77 dan Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai korban salah tangkap polisi. Kendati dalam aturan, ganti rugi paling banyak Rp100 juta. “Kalau dia punya Rp 100 miliar terus diinvestasikan di tambang batu bara atau nikel hidupnya sudah bisa terjamin,” ucap mantan Kapolda Sumatera Utara tersebut.

Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Kasus Vina Dewi atau Vina Cirebon bermula dari kematiannya beserta sang kekasih Muhammad Rizky atau Eky di sebuah jembatan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada 2016 lalu. Sebanyak 11 orang menjadi terpidana dalam kasus ini, namun mereka kini mengajukan Peninjauan Kembali (PK) karena mengaku bukan pelaku. Polisi juga menetapkan Pegi alias Perong sebagai tersangka baru, tapi sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung pada 8 Juli 2024 menyatakan Pegi tidak terbukti terlibat.

Oegroseno menyatakan kasus ini cacat sejak awal karena penyidik tidak bisa membuktikan keterlibatan para pelaku. Polisi hanya mengantongi keterangan saksi yang tidak didukung bukti lainnya dalam kasus tersebut. “Barang bukti juga tidak mengarah pada peristiwa pembunuhan,” kata dia.

Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Apalagi, Oegroseno melanjutkan, terdapat keterlibatan Iptu Rudiana yang merupakan ayah korban Eky dalam penyelidikan di awal kasus. Kematian putranya tersebut, kata Oegroseno, bisa menjadi motif Rudiana melakukan tindakan yang di luar nalar seorang anggota polisi. 

“Ini penyimpangan profesi cukup berat, tapi yang saya heran seorang Iptu Rudiana bisa menguasai kepolisian khususnya di Polresta (Cirebon), ada apa sebenarnya?,” ucapnya. “Jadi seorang Iptu jangan sampai dikasih kewenangan bisa mengendalikan seluruh Polri. Gak bisa, belum perwira, belum penyidik. Propam yang bisa membuktikan itu (Kasus Vina Cirebon),” kata dia menambahkan.

Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya

Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno: Semua Orang Sekarang Bisa Menyadap

Oegroseno: Semua Orang Sekarang Bisa Menyadap

Oegroseno: Semua Orang Sekarang Bisa Menyadap

October 23, 2024
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Oegroseno. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Mantan Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia (Wakapolri), Komjen. Pol. (Purn.) Oegroseno menekankan agar pemerintah melakukan penelitian mendalam terhadap revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurutnya, pembuatan undang-undang harus disesuaikan dengan kebutuhan kepolisian di masa yang akan datang.

“Harus ada studi dulu, jangan membuat undang-undang asal undang-undang. Kira-kira yang dibutuhkan polisi ke depan bagaimana?” ujar Oegroseno dalam podcast EdShareOn bersama host Eddy Wijaya, yang tayang pada Rabu, 23 Oktober 2024.

Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Revisi UU tentang Polri tengah bergulir di DPR RI. Beleid yang merupakan inisiatif DPR RI mengatur sejumlah isu strategis. Misalnya pada pasal 14 tentang pengawasan, pengamanan ruang siber, dan penyadapan. Ada pula pasal 16 tentang penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber.

Pasal-pasal inilah yang menjadi polemik di masyarakat karena dianggap menjadikan Polri sebagai “lembaga superbody”, atau memiliki kewenangan sangat besar tapi minim pengawasan. Bahkan dituduh bakal memberangus kebebasan berekspresi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun pembahasan RUU ini ditunda hingga DPR periode 2024-2029 berjalan efektif.

Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Oegroseno saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Oegroseno menyatakan untuk menghindari penyalahgunaan, penyadapan dalam RUU tersebut perlu diatur secara ketat. “Siapa sih di Indonesia yang paling berhak menyadap? Semua orang sekarang bisa menyadap. Jangankan aparat, pengusaha IT (Information and Technology) saja bisa. Itulah yang harus diatur ke depan,” kata Oegroseno.

Kendati demikian, pria kelahiran 17 Februari 1956 itu sepakat bila penyadapan dan pengawasan ruang siber diatur dalam peraturan khusus misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan menteri, bahkan peraturan presiden. “Penyadapan ditata, jangan sampai penyadapan itu liar. Mau itu (penyadapan) di KP (Kementerian Pertahanan), mau itu BIN, mau BAIS, mau itu Polri, aturan penyadapan satu titik, dan orang-orang (yang menjalankan aturan) bisa dipercaya dan gajinya tinggi,” ucapnya.

Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya

Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan Berharap Para Pejabat Memahami Soal Suap

Novel Baswedan Berharap Para Pejabat Memahami Soal Suap

Novel Baswedan Berharap Para Pejabat Memahami Soal Suap

October 22, 2024
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Novel Baswedan. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Korupsi di Indonesia telah lama menjadi isu yang membebani perkembangan negara. Dalam sebuah wawancara di EdShareOn, Eddy Wijaya bersama Novel Baswedan membahas tentang perilaku korupsi di kalangan pejabat dan tantangan dalam pemberantasan korupsi, terutama terkait suap dan gratifikasi. Pembicaraan ini mengungkap beberapa aspek penting yang sering terlewatkan dalam pemahaman masyarakat umum mengenai korupsi dan etika pejabat.

Novel Baswedan menyoroti bagaimana pemahaman mengenai peran pejabat publik seharusnya lebih ditekankan pada pengabdian dan amanah. Namun faktanya banyak yang menganggap posisi pejabat sebagai kesempatan mendapatkan fasilitas dan kemudahan. Padahal menjadi pejabat adalah tanggung jawab besar yang menuntut integritas dan dedikasi terhadap negara. “Menjadi pejabat bukanlah soal fasilitas, tapi soal amanah untuk melayani negara dengan jujur,” ujar Novel.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Salah satu isu utama yang disoroti adalah soal suap. Menurut Novel, memberikan suap kepada pejabat adalah bentuk kejahatan terhadap pejabat itu sendiri. Ini merupakan bagian dari KUHP Pasal 209 yang menyatakan bahwa memberi suap kepada pejabat adalah tindakan kriminal yang merusak martabat pejabat tersebut. Namun di lapangan, realitasnya justru sebaliknya. Sangat jarang ada pejabat yang melaporkan suap yang diterima, menunjukkan bahwa budaya menerima suap telah mendarah daging.

Dalam diskusi tersebut, Eddy Wijaya menanyakan mengenai perbedaan antara suap dan gratifikasi, serta apakah ada ruang bagi tanda terima kasih kepada pejabat. Novel menjelaskan bahwa dalam undang-undang, suap terbagi menjadi dua jenis yaitu suap sebelum tindakan yang disebut pemberian, dan suap setelah tindakan yang disebut hadiah. Kedua jenis ini sama-sama dilarang. “Bahkan tanda terima kasih pun bisa dianggap sebagai suap,” tegas Novel.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Lebih lanjut, Novel juga membahas soal gratifikasi yang sering kali dianggap sepele. Menurutnya, gratifikasi adalah bentuk pemberian fasilitas yang diberikan kepada pejabat dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau tindakan. Ini adalah salah satu bentuk korupsi yang kerap luput dari perhatian publik. Banyak yang tidak menyadari bahwa pemberian fasilitas, baik sebelum maupun setelah pejabat melakukan suatu tindakan, bisa masuk dalam kategori gratifikasi.

Di tengah diskusi tersebut, Eddy Wijaya juga mempertanyakan mengapa pejabat yang menerima suap tidak merasa terhina atau tersinggung. Seharusnya penerimaan suap dianggap sebagai serangan terhadap martabat pejabat. Namun realitas yang terjadi adalah kebalikannya, di mana pejabat yang menerima suap justru merasa senang. Hal ini menjadi tantangan besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan Ungkap Alasan Korupsi di Indonesia Makin Merajalela

Novel Baswedan Ungkap Alasan Korupsi di Indonesia Makin Merajalela

Novel Baswedan Ungkap Alasan Korupsi di Indonesia Makin Merajalela

October 22, 2024
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Novel Baswedan. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah episode podcast EdShareOn, Eddy Wijaya berbincang dengan Novel Baswedan mengenai berbagai tantangan yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu topik utama yang dibahas adalah gugatan Novel Baswedan terhadap Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon pimpinan KPK. Novel dan timnya mengajukan perubahan agar batas usia minimum dari 50 tahun menjadi 40 tahun, dengan tujuan membuka peluang bagi lebih banyak calon yang kompeten untuk bergabung dengan KPK.

Novel Baswedan menegaskan bahwa KPK membutuhkan figur-figur yang berintegritas, yang sayangnya banyak terhambat oleh aturan batas usia. Dia bersama rekan-rekan yang tergabung dalam IM57, sebuah kelompok yang terdiri dari mantan pegawai KPK, berharap bahwa gugatan mereka dapat memperbaiki proses seleksi pimpinan KPK. Meski Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, Novel tetap berkeyakinan bahwa upaya mereka adalah langkah penting dalam memperjuangkan penguatan KPK.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Novel juga menyoroti pentingnya soliditas dalam lembaga penegakan hukum. Ia menyebut bahwa Kejaksaan Agung, di bawah pimpinan Sanitiar Burhanuddin, menunjukkan komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi. Namun menurut Novel, upaya ini tidak hanya bergantung pada satu lembaga. Pemberantasan korupsi harus melibatkan seluruh elemen bangsa, termasuk aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.

Eddy Wijaya kemudian menanyakan pandangan Novel tentang bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia terkesan stagnan, meskipun KPK sudah dibentuk sejak era Presiden Megawati. Novel menjawab bahwa hal tersebut disebabkan oleh kurangnya dukungan politik yang kuat. Menurutnya, pemberantasan korupsi memerlukan political will dari pemerintah, terutama dari Presiden, untuk benar-benar memimpin perjuangan melawan korupsi.

Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Novel Baswedan saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Selain itu, Novel Baswedan juga mengakui bahwa korupsi di Indonesia kerap dianggap sebagai risiko yang kecil. Banyak pejabat yang merasa aman dari hukuman berat, sehingga praktik korupsi terus berlanjut. Ia percaya, jika risiko tertangkap dan hukuman yang diberikan lebih tegas, pejabat akan berpikir dua kali untuk melakukan korupsi.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Kunci Sukses Kejaksaan Agung dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Kunci Sukses Kejaksaan Agung dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Kunci Sukses Kejaksaan Agung dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

October 22, 2024
Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Harli Siregar. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah episode menarik dari podcast EdShareOn, Eddy Wijaya berbincang dengan Harli Siregar mengenai kinerja lembaga-lembaga hukum di Indonesia, khususnya Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Topik ini relevan dengan perubahan Undang-Undang KPK pada tahun 2019 yang disebut-sebut membuat lembaga tersebut melemah. Eddy Wijaya selaku host, menanyakan pandangan Harli Siregar mengenai isu ini, menyoroti perbandingan antara KPK dan Kejaksaan Agung.

Harli Siregar memberikan perspektif menarik terkait kinerja Kejaksaan Agung yang terus mendapat kepercayaan publik, meskipun kewenangannya tidak sekuat KPK. Menurutnya kekuatan utama Kejaksaan terletak pada komitmen lembaga dan soliditas yang terjalin di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Hal ini menjadikan Kejaksaan mampu melakukan penegakan hukum yang signifikan, terutama dalam kasus-kasus besar yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Ketika ditanya tentang prestasi Kejaksaan Agung, Harli menjelaskan beberapa pencapaian penting, seperti pengungkapan kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri, dan Duta Palma. Dalam kasus ini, Kejaksaan berhasil melakukan penyitaan senilai hingga 800 miliar rupiah. Eddy Wijaya menambahkan bahwa hasil penyitaan ini bukan hanya sekadar janji, melainkan uang nyata yang terlihat oleh publik.

Pembahasan mengenai efektivitas Kejaksaan ini mengarah pada kesimpulan bahwa penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum saja. Harli menekankan bahwa seluruh komponen bangsa, termasuk masyarakat, memiliki peran penting dalam mencegah dan memberantas korupsi. Semua pihak harus berkolaborasi dalam mendorong pemberantasan korupsi yang efektif.

Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Selain itu, diskusi juga menyoroti bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal penindakan, tetapi juga pencegahan yang perlu ditingkatkan. Dengan kolaborasi yang baik antara lembaga dan masyarakat, diharapkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum akan terus meningkat, dan Indonesia bisa semakin maju dalam melawan korupsi.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Harli Siregar, Masa Depan Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Harli Siregar, Masa Depan Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Harli Siregar, Masa Depan Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

October 18, 2024
Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Harli Siregar. (Foto: EdShareOn.com)

JAKARTA – Dalam sebuah wawancara menarik di podcast EdShareOn, Eddy Wijaya dan Harli Siregar, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Barat, membahas isu-isu penting terkait penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Diskusi tersebut menyoroti bagaimana kinerja kejaksaan semakin menonjol dalam memberantas korupsi, bahkan melampaui beberapa lembaga seperti KPK. Eddy Wijaya pun mempertanyakan apakah lembaga ad hoc seperti KPK masih dibutuhkan jika kejaksaan sudah berfungsi maksimal.

Harli Siregar menjelaskan bahwa keberadaan lembaga-lembaga seperti KPK bergantung pada politik hukum negara. Artinya keputusan untuk mempertahankan atau menghapus lembaga tersebut sangat tergantung pada kebijakan politik dari pemerintah. Menurutnya penting untuk tidak berandai-andai, tetapi menunggu kajian lebih dalam tentang kebutuhan kelembagaan hukum di masa depan.

Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Eddy Wijaya juga mengingatkan bahwa pada awal pembentukannya di era Presiden Megawati, KPK memang dirancang sebagai lembaga ad hoc, yang berarti bersifat sementara. Namun Harli Siregar menekankan bahwa segala perubahan atau pembubaran lembaga hukum harus kembali pada politik hukum negara dan kajian menyeluruh mengenai efektivitasnya.

Menariknya, Harli Siregar berbagi pengalaman pribadinya saat bertugas di Papua. Ia mengungkapkan betapa uniknya tantangan penegakan hukum di sana, tetapi juga menekankan keindahan alam Papua dan keramahan masyarakatnya. Menurutnya masyarakat Papua sangat setia dan terbuka, serta memiliki komitmen yang kuat terhadap ke-Indonesia-an.

Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Harli Siregar saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)

Di Papua, penegakan hukum, terutama terkait korupsi, tetap menjadi prioritas. Namun Harli juga menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan tak hanya melalui penerapan hukum positif, tetapi juga mengakomodasi hukum adat dan budaya setempat. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum harus bersifat adaptif sesuai dengan karakter masyarakat di tiap daerah.

Menutup diskusi, Eddy Wijaya dan Harli Siregar membahas harapan mereka terhadap pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo-Gibran. Harli menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah ke depan. Tanpa penegakan hukum yang kuat, Indonesia tidak akan bisa mencapai target besar, seperti Indonesia Emas 2045. Kepercayaan publik adalah kunci untuk mencapai partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa yang lebih baik.

Tags :

Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Sutiyoso Saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)