Todung Mulya Lubis. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Dalam sebuah episode terbaru podcast EdShareOn, Todung Mulya Lubis berbincang dengan Eddy Wijaya mengenai wacana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Todung memberikan pandangan kritisnya terhadap revisi yang sedang dibahas dan dampaknya terhadap independensi serta integritas Mahkamah Konstitusi.
Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa revisi UU MK ini lebih menyasar individu-individu daripada substansi hukum itu sendiri. “Revisi undang-undang MK ini lebih menyasar individu,” ujarnya. Menurutnya, perubahan yang diusulkan terkait masa jabatan hakim MK dapat berdampak negatif pada independensi mereka. Saat ini, hakim MK memiliki masa jabatan 15 tahun atau sampai usia 70 tahun. Namun, untuk melanjutkan masa jabatan mereka, mereka harus mendapatkan persetujuan dari lembaga yang mengusulkan mereka, seperti Presiden, DPR, atau Mahkamah Agung.
Todung mencontohkan Saldi Isra yang harus mendapatkan persetujuan Presiden untuk melanjutkan jabatannya sebagai hakim MK. “Kalau Presiden tidak setuju ya dia out,” katanya. Hal ini, menurut Todung, dapat membuat hakim MK kehilangan kebebasan dan kemandirian mereka. “Jadi ya kebebasan dia dan kemandirian dia sudah diancam,” tambahnya.
Todung juga menyarankan agar masa jabatan hakim MK dibuat seumur hidup, seperti yang diterapkan di beberapa negara lain termasuk Amerika Serikat. “Kalau saya, di Amerika Hakim Mahkamah Agung itu seumur hidup. Di banyak negara, hakim itu seumur hidup,” jelasnya. Menurut Todung, ini akan memberikan jaminan keamanan jabatan yang pasti bagi hakim MK sehingga mereka tidak merasa terbebani atau harus berkompromi dengan pihak yang mengusulkan mereka.
Selain itu, Todung menyoroti proses pemilihan hakim MK yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh eksekutif, legislatif, atau yudikatif. “Seharusnya hanya ada satu lembaga saja, satu pansel yang dibentuk oleh presiden,” usulnya. Ini untuk memastikan bahwa calon hakim MK yang terpilih adalah orang-orang yang mumpuni dan bebas dari cacat moral maupun etika.
Todung juga menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses pembuatan undang-undang. “Pembuatan undang-undang termasuk revisi undang-undang itu mesti membuka partisipasi yang luas dari masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau pendapat opini mereka,” tegasnya. Ia mengkritik proses revisi UU MK yang dilakukan dengan kurangnya keterlibatan publik dan transparansi.
Tags :