Soleman B. Ponto. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Dalam sebuah wawancara eksklusif di podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, memberikan pandangan tajam mengenai permasalahan dan tantangan penegakan hukum di laut Indonesia. Berdasarkan pengalamannya di Angkatan Laut dan pemahamannya yang mendalam mengenai hukum kelautan, Ponto menyoroti berbagai isu yang selama ini menghambat efektivitas penegakan hukum maritim di Indonesia.
Menurut Ponto, masalah utama dalam penegakan hukum di laut Indonesia adalah belum adanya satu otoritas tunggal yang berfungsi sebagai koordinator. Pasal 277 Ayat 2 dari Undang-Undang 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebenarnya telah mengamanatkan pembentukan koordinator penegakan hukum di laut. “Di laut itu banyak pelanggaran, setiap pelanggaran ada undang-undangnya masing-masing,” jelas Ponto, seraya menambahkan bahwa pelanggaran tersebut bisa mencakup berbagai aspek seperti perikanan, penyelundupan, hingga masalah imigrasi.
Ia menegaskan pentingnya pembentukan Indonesia Coast Guard sebagai koordinator penegakan hukum, yang hingga kini belum terwujud. Padahal, menurutnya, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan transformasi Badan Keamanan Laut (Bakamla) menjadi Indonesia Coast Guard sejak tahun 2014. “Presiden sudah perintahkan, tapi sampai hari ini belum terjadi,” ungkap Ponto.
Soleman B. Ponto juga menyoroti dampak ekonomi dari ketidakpastian hukum di laut, terutama bagi industri pelayaran dan asuransi. Ia mencontohkan bahwa penahanan kapal di tengah laut, apalagi jika kapal tersebut membawa muatan mudah rusak seperti es atau es krim, dapat menimbulkan kerugian besar. “Kalau asuransi naik, air putih pun jadi mahal gara-gara penegakan hukum di laut tidak benar,” tuturnya.
Ponto juga mengkritisi penggunaan istilah Pengawas Pelayaran dalam revisi terbaru undang-undang terkait. Ia menegaskan bahwa di tingkat internasional, istilah yang tepat adalah Coast Guard, bukan pengawas pelayaran, yang menurutnya tidak dikenal dalam terminologi maritim internasional.
Terkait illegal fishing, Ponto menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran perikanan memiliki undang-undang yang berbeda, yakni Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan antara kapal pengangkut barang dan kapal penangkap ikan, serta perlunya izin bagi kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia. “Penangkapan atas kapal ikan bukan karena dia asing atau domestik, tapi karena dia tidak punya izin penangkapan ikan,” tegas Ponto.
Ketika ditanya mengenai kebijakan penenggelaman kapal yang populer di masa Menteri Susi Pudjiastuti, Ponto dengan tegas menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak efektif dan merugikan lingkungan. “Berapa banyak telur ikan yang akan mati akibat ledakan itu? Kita membunuh diri sendiri dengan meledakkan kapal,” ujarnya dengan penuh keprihatinan. Ia menyarankan agar kapal-kapal pelanggar hukum sebaiknya dilelang atau dimanfaatkan untuk patroli, daripada dihancurkan.
Ponto juga menyoroti pentingnya mengikuti aturan internasional dalam penegakan hukum maritim. Ia mencontohkan bahwa tindakan barbar seperti penenggelaman kapal justru bisa merusak reputasi Indonesia di mata dunia internasional. Menurutnya, Indonesia sebagai bangsa yang beradab harus memperlihatkan sikap yang sesuai dengan hukum dan norma internasional.
Tags :