Soleman B. Ponto. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Dalam podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya berbincang dengan Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS). Pada kesempatan tersebut, Soleman B. Ponto memberikan pandangan mendalam mengenai peran intelijen dan dinamika politik di Indonesia, khususnya menjelang peralihan pemerintahan ke Prabowo-Gibran.
Ketika ditanya mengenai kondisi intelijen Indonesia saat ini, Soleman B. Ponto menekankan bahwa menilai keberhasilan intelijen bukanlah hal yang mudah. Menurutnya, penilaian hanya bisa dilakukan oleh atasan yang memberikan perintah langsung kepada agen intelijen. “Intelijen bekerja berdasarkan Unsur Utama Keterangan (UUK) yang diberikan oleh atasan kepada intelijennya. Yang tahu berhasil atau tidak adalah pimpinannya,” jelasnya.
Soleman juga menyoroti pentingnya memberikan apa yang diminta oleh atasan, tanpa melebihi atau mengurangi. “Misalkan atasan minta kambing, ya kita kasih kambing, tidak boleh kita kasih sapi,” tambahnya.
Perbincangan ini juga menyentuh dinamika politik yang terjadi menjelang Pilkada. Soleman B. Ponto mengingatkan bahwa proses demokrasi yang baik harus berjalan sesuai aturan yang telah disepakati. “Ketika MK sudah memutuskan sesuatu, seharusnya itu yang diikuti, bukan malah mencoba bergerilya dengan keputusan lain,” tegasnya.
Mengenai pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan datang, Soleman memberikan pandangan yang seimbang. Menurutnya, efektivitas pemerintahan akan sangat bergantung pada bagaimana keduanya mengelola pemerintah dan memimpin intelijen. Namun, dia juga menekankan bahwa gaya kepemimpinan Prabowo sebagai mantan militer akan berbeda signifikan dari gaya kepemimpinan sipil seperti Jokowi. “Orang akan bekerja berdasarkan di mana dia dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungannya,” ujarnya.
Soleman juga menjelaskan bahwa perbedaan antara kepemimpinan militer dan sipil tidak bisa dihindari. Kepemimpinan militer yang lebih tegas dan terstruktur bisa membawa perubahan, namun bisa juga menimbulkan resistensi dari kalangan sipil yang terbiasa dengan gaya kepemimpinan yang lebih fleksibel. “Bagi aku, ya senang karena kita militer. Tapi bagi orang sipil mungkin kok diperintah-perintah kayak begitu enggak bisa, ya memang itu risiko,” tambah Soleman.
Tags :