Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi dan mempengaruhi ranah politik. Dalam sebuah wawancara bersama Eddy Wijaya di EdShareOn, Prof. Ikrar Nusa Bhakti membahas isu yang tengah hangat, yaitu fenomena akun Fufufafa yang menyinggung pribadi tokoh politik Prabowo Subianto. Melalui diskusi ini, kita dapat melihat betapa kompleksnya interaksi antara politik, media, dan masyarakat saat ini.
Prof. Ikrar menyoroti bahwa jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Meskipun Kominfo telah membantah adanya hubungan langsung, Prof. Ikrar menekankan bahwa identitas di balik akun tersebut pasti akan terungkap pada akhirnya. Dalam konteks ini, ia juga menyebut pentingnya menjaga komunikasi politik agar tidak menyerang ranah pribadi. Hal ini menjadi penting dalam menjaga etika politik di tengah derasnya arus informasi digital
Salah satu poin menarik yang disampaikan Prof. Ikrar adalah bahwa politik tidak mengenal kawan dan lawan yang abadi. Dalam situasi tertentu, seseorang yang sebelumnya dianggap lawan bisa saja menjadi sekutu. Ini adalah dinamika yang lazim dalam politik, di mana hubungan antar-tokoh bisa berubah sesuai dengan situasi. Ia mengingatkan bahwa penting bagi politisi untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan, karena jejak digital akan terus ada dan bisa kembali menghantui.
Selain itu, Prof. Ikrar juga menekankan bagaimana pengaruh netizen dalam membentuk opini politik semakin kuat. Menurutnya, informasi di era digital adalah kekuatan besar yang bisa digunakan baik untuk tujuan politik maupun ekonomi. Netizen yang terlibat aktif di media sosial memiliki peran besar dalam membentuk narasi politik, baik secara positif maupun negatif. Ini adalah fenomena yang semakin penting diperhatikan oleh para politisi.
Dalam wawancara ini, Eddy Wijaya mengajukan pertanyaan yang menarik tentang kemungkinan adanya upaya untuk memecah belah aliansi politik. Prof. Ikrar merespons dengan menyebutkan bahwa situasi politik saat ini memang tidak stabil dan sering terjadi friksi. Namun, ia juga mencatat bahwa hubungan antar-tokoh seperti Prabowo dan Gibran bukanlah hasil dari ideologi yang sama, melainkan kepentingan politik yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Prof. Ikrar menutup wawancara dengan membahas peran wakil presiden dalam politik Indonesia. Ia menekankan bahwa jabatan ini, meskipun terlihat penting, sering kali hanya berfungsi sebagai ban serep. Dengan demikian, Gibran sebagai wakil presiden terpilih tidak boleh terlalu berharap mendapatkan peran yang signifikan dalam pemerintahan, kecuali jika situasi mendesak presiden untuk memberikan tugas tambahan.
Tags :