Jimly Asshiddiqie. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Saat mengobrol dengan Eddy Wijaya di podcast EdShareOn, Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., seorang pakar konstitusi, memberikan wawasan mendalam tentang pemilu dan sistem demokrasi di Indonesia. Dari sudut pandangnya, Jimly menyoroti beberapa masalah krusial yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas proses demokrasi di Indonesia.
Salah satu titik penting yang disoroti oleh Jimly adalah perlunya meningkatkan kualitas dan integritas demokrasi di Indonesia. Sebagai contoh, beliau mengusulkan agar mekanisme pengawasan pemilu diperkuat. Namun semua hal itu memerlukan proses dan tidak instan.
“Satu-satunya negara di dunia yang punya tiga lembaga yang kaitan dengan pemilu cuma Indonesia. Ini adalah cara kita membuat electoral governance, itu dari waktu ke waktu semakin membaik. Tapi kan enggak tiba-tiba, buktinya masih masif di mana-mana,” ujar Jimly.
Salah satu saran yang menarik dari Prof. Jimly adalah terkait dengan penghapusan threshold 20% untuk calon presiden. Beliau menegaskan bahwa threshold semacam itu sebenarnya tidak perlu, karena mempersempit ruang demokrasi. Menurutnya, partai-partai harus diberi kebebasan untuk mengajukan calon presiden tanpa adanya batasan kuantitatif. Beliau menyoroti pentingnya memperhatikan pluralitas dan keragaman dalam proses pemilihan.
“Indonesia ini jauh lebih fragmented dan lebih plural dari Rusia. Jadi untuk Indonesia ini saya sarankan tidak usah ada thresold, belajar dari berdarah-darahnya kita nyari kasak kusuk capres termasuk cawapresnya,” jelas Jimly.
Selain masalah pemilihan presiden, Prof. Jimly juga mengajukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dia menekankan pentingnya objektivitas dalam merancang masa depan, termasuk restrukturisasi parlemen. Salah satu saran konkretnya adalah untuk mempertimbangkan penataan ulang struktur parlemen.
“Kenapa nggak dibikin dua saja? Tapi di MPR itu ada utusan partai politik, anggota DPR, kemudian ada perwakilan golongan. Perwakilan daerah dulu namanya utusan golongan tapi ditiadakan sekarang kita hidupkan lagi supaya MPR itu betul-betul penjelmaan seluruh rakyat. Tapi di DPR dibuat dua yaitu satu partai politik fraksi-fraksi partai dan satu lagi Perwakilan Daerah. Jadi DPD itu dimasukkan fraksi di MPR dan juga di DPR. Utusan golongan cukup di MPR. Sehingga Perwakilan Daerah itu ikut memutuskan, tidak seperti sekarang,” ungkapnya.
Selain itu, Prof. Jimly juga mempertimbangkan kembali peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses legislasi. Menurutnya, DPD harus memiliki peran yang lebih substansial dalam pembuatan undang-undang serta pengambilan keputusan, sehingga aspirasi daerah dapat lebih diakomodasi dengan baik.
“Dia terlibat dalam pembuat undang tapi nggak mengikat keputusannya. Adanya sama aja dengan tiadanya. Jadi aspirasi daerah itu harus ikut memutuskan dalam semua kebijakan legislasi dalam semua kebijakan anggaran dan juga pengawasan,” jelas Jimly Asshiddiqie.
Tags :