Novel Baswedan. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Korupsi di Indonesia telah lama menjadi isu yang membebani perkembangan negara. Dalam sebuah wawancara di EdShareOn, Eddy Wijaya bersama Novel Baswedan membahas tentang perilaku korupsi di kalangan pejabat dan tantangan dalam pemberantasan korupsi, terutama terkait suap dan gratifikasi. Pembicaraan ini mengungkap beberapa aspek penting yang sering terlewatkan dalam pemahaman masyarakat umum mengenai korupsi dan etika pejabat.
Novel Baswedan menyoroti bagaimana pemahaman mengenai peran pejabat publik seharusnya lebih ditekankan pada pengabdian dan amanah. Namun faktanya banyak yang menganggap posisi pejabat sebagai kesempatan mendapatkan fasilitas dan kemudahan. Padahal menjadi pejabat adalah tanggung jawab besar yang menuntut integritas dan dedikasi terhadap negara. “Menjadi pejabat bukanlah soal fasilitas, tapi soal amanah untuk melayani negara dengan jujur,” ujar Novel.
Salah satu isu utama yang disoroti adalah soal suap. Menurut Novel, memberikan suap kepada pejabat adalah bentuk kejahatan terhadap pejabat itu sendiri. Ini merupakan bagian dari KUHP Pasal 209 yang menyatakan bahwa memberi suap kepada pejabat adalah tindakan kriminal yang merusak martabat pejabat tersebut. Namun di lapangan, realitasnya justru sebaliknya. Sangat jarang ada pejabat yang melaporkan suap yang diterima, menunjukkan bahwa budaya menerima suap telah mendarah daging.
Dalam diskusi tersebut, Eddy Wijaya menanyakan mengenai perbedaan antara suap dan gratifikasi, serta apakah ada ruang bagi tanda terima kasih kepada pejabat. Novel menjelaskan bahwa dalam undang-undang, suap terbagi menjadi dua jenis yaitu suap sebelum tindakan yang disebut pemberian, dan suap setelah tindakan yang disebut hadiah. Kedua jenis ini sama-sama dilarang. “Bahkan tanda terima kasih pun bisa dianggap sebagai suap,” tegas Novel.
Lebih lanjut, Novel juga membahas soal gratifikasi yang sering kali dianggap sepele. Menurutnya, gratifikasi adalah bentuk pemberian fasilitas yang diberikan kepada pejabat dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau tindakan. Ini adalah salah satu bentuk korupsi yang kerap luput dari perhatian publik. Banyak yang tidak menyadari bahwa pemberian fasilitas, baik sebelum maupun setelah pejabat melakukan suatu tindakan, bisa masuk dalam kategori gratifikasi.
Di tengah diskusi tersebut, Eddy Wijaya juga mempertanyakan mengapa pejabat yang menerima suap tidak merasa terhina atau tersinggung. Seharusnya penerimaan suap dianggap sebagai serangan terhadap martabat pejabat. Namun realitas yang terjadi adalah kebalikannya, di mana pejabat yang menerima suap justru merasa senang. Hal ini menjadi tantangan besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tags :