Jimly Asshiddiqie. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Di era dinamika politik Indonesia, perselisihan hasil pemilihan umum (Pemilu) seringkali menjadi fokus perhatian masyarakat. Melalui wawancara di podcast EdShareOn, Eddy Wijaya bersama Jimly Asshiddiqie, seorang pakar hukum dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), membahas mengenai proses kompleks penyelesaian perselisihan pemilu di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie memulai diskusi dengan menyoroti perlunya menghormati proses formal dalam pemilihan umum. Dia memberikan contoh pada Pilpres 2004. Jimly menekankan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang menangani perselisihan hasil pemilu adalah penting untuk menjaga keadilan dan demokrasi.
“Yang menang waktu itu adalah Pak SBY dan incumbentnya adalah Ibu Megawati. Saat KPU akan mengumumkan, malamnya Pak SBY sebagai capres yang quick countnya sudah merasa menang itu membuat statement. Statementnya adalah besok sesudah pengumuman resmi dari KPU, saya akan segera mengumumkan rancangan kabinet. Saya bilang presiden terpilih itu baru ada setelah melewati dua proses yaitu adalah proses di KPU dan proses di Mahkamah Konstitusi. Harus dihormati, ada yang namanya MK,” ujar Jimly Asshiddiqie.
Jimly mengingatkan bahwa proses penetapan hasil pemilu harus mengikuti mekanisme yang ada. “Jadi hormati mekanisme, jika sudah resmi menjadi presiden baru bisa membuat kabinet,” ucapnya. Ia menekankan pentingnya memberi ruang bagi proses hukum untuk berjalan dengan adil. “Kubu yang menang sebaiknya tahan diri dulu. Jangan merasa sudah selesai, KPU aja belum resmi mengumumkan. Memang jauh jaraknya tapi harus diberi ruang kesempatan untuk adanya perkara di MK,” lanjutnya.
Eddy Wijaya menyoroti kemungkinan jalannya angket dalam penyelesaian perselisihan pemilu. Jimly menjelaskan bahwa angket merupakan salah satu saluran politik yang bisa digunakan oleh DPR. “Kedua dari pihak yang kalah harus kita hormati dan mereka diberi ruang saluran. Saluran hukum dan saluran politik. Angket di DPR itu saluran politik. Harus dihargai, jangan dilihat negatif tapi dengan tetap memberi ruang pada saluran hukum. Ini penting ya, untuk apa? Memindahkan kemarahan dan kekecewaan dari jalanan ke ruangan sidang. Sidang forum politik di DPR dan sidang forum hukum di MK,” jelasnya.
Pembahasan pun berkembang ke arah kemungkinan pemakzulan presiden. Jimly menjelaskan bahwa meskipun pemakzulan adalah hak lembaga DPR, prosesnya tidaklah mudah dan membutuhkan bukti yang kuat atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden. Ia menegaskan bahwa upaya pemakzulan haruslah berdasarkan pada fakta dan bukti yang jelas, bukan sekadar opini politik.
“Ada tiga hak DPR yaitu hak interpelasi, hak angket dan yang ketiga hak menyatakan pendapat. Nah yang ada kaitan langsung dengan pemakzulan adalah yang ketiga. Jika mayoritas DPR menyatakan bahwa presiden ini melanggar hukum misalnya seperti itu. Pernyataan pendapat itu bisa dibawa ke MK. Nanti oleh MK akan dibuktikan benar atau tidaknya. Kalau terbukti benar, balik lagi ke DPR dan kemudian oleh DPR diajukan ke MPR untuk impeachment untuk pemakzulan. Itu mekanismenya dan itu lama prosesnya,” ungkap Jimly Asshiddiqie.
Tags :