Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Dalam salah satu episode podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, Prof. Ikrar Nusa Bhakti memberikan pandangannya yang menarik tentang politik Indonesia, terutama terkait transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto. Salah satu isu yang diangkat adalah keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Menurut Prof. Ikrar, meskipun Jokowi berharap IKN dilanjutkan oleh Prabowo, kenyataannya masih banyak tantangan, baik dari segi anggaran maupun potensi pengembangan ekonomi di wilayah tersebut.
Prof. Ikrar juga menyoroti bahwa meskipun IKN dirancang untuk menjadi pusat pemerintahan, kenyataannya lahan tersebut belum siap secara sosial dan ekonomi. Wilayah Penajam Paser Utara, yang menjadi lokasi IKN, masih minim penduduk. Hal ini menimbulkan keraguan apakah IKN dapat berkembang seperti Canberra di Australia atau Washington DC di Amerika Serikat, yang keduanya merupakan ibu kota yang dirancang dengan matang dan bertumbuh seiring waktu.
Pembahasan menarik lainnya adalah soal potensi ‘pecah kongsi’ antara Jokowi dan Prabowo setelah Prabowo dilantik. Menurut Prof. Ikrar, hubungan politik mereka didasari oleh kepentingan, bukan keyakinan yang mendalam. Sebagai dua rival politik, Jokowi dan Prabowo tetap memiliki potensi untuk berseberangan di masa depan, mengingat sejarah mereka sebagai kontestan sengit di Pemilu 2019.
Hal yang lebih menarik adalah spekulasi bahwa Jokowi telah merancang masa depan politik putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini diposisikan sebagai calon wakil presiden. Prof. Ikrar menilai Jokowi telah berupaya menciptakan peluang bagi Gibran melalui berbagai langkah, termasuk intervensi terkait batas usia calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Langkah ini dianggap sebagai strategi jangka panjang Jokowi untuk mempertahankan pengaruh politiknya.
Prof. Ikrar juga membahas bagaimana Jokowi berperan dalam memfasilitasi pertemuan antara Prabowo dan Ganjar, dua tokoh politik yang sempat diisukan akan menjadi pasangan capres-cawapres. Namun kenyataannya, Jokowi tidak memiliki kendali penuh atas partai politik. Hal ini memperlihatkan dinamika politik yang rumit di Indonesia, di mana konsensus politik sulit dicapai meskipun ada campur tangan dari pemimpin negara.
Tags :