Ikrar Nusa Bhakti. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Dalam salah satu episode podcast EdShareOn yang dipandu oleh Eddy Wijaya, Prof. Ikrar Nusa Bhakti membahas isu penting terkait politik Indonesia, terutama soal komposisi kabinet pemerintahan. Diskusi ini menyoroti peran penting menteri dalam membentuk arah kebijakan negara, serta tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga efisiensi dan stabilitas politik. Topik ini semakin relevan di tengah ramainya spekulasi mengenai komposisi kabinet yang mungkin diisi oleh berbagai kalangan, termasuk dari militer dan polisi.
Menurut Prof. Ikrar, banyaknya jumlah menteri di kabinet bukanlah ukuran keberhasilan. Ia menyebutkan contoh dari berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Australia yang berhasil mengelola pemerintahan dengan jumlah menteri yang lebih sedikit. Bagi Indonesia, penambahan jumlah menteri bisa berdampak pada peningkatan pengeluaran negara. Sebagai contoh, anggaran negara yang dialokasikan untuk operasional menteri dan stafnya dapat membebani APBN. Ini menjadi peringatan agar Indonesia lebih efisien dalam mengelola kabinet demi kesejahteraan rakyat.
Eddy Wijaya dengan cerdas menanyakan apakah penambahan jumlah menteri ini sebenarnya bertujuan untuk ‘bagi-bagi kekuasaan’ antara partai politik. Pertanyaan ini menggiring diskusi pada sejarah politik Indonesia, di mana pada masa Demokrasi Terpimpin di era Soekarno, jumlah menteri pernah mencapai angka fantastis, yakni 132 orang. Fakta ini menggambarkan bahwa politik sering kali menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan dan Prof. Ikrar mengingatkan bahwa kondisi serupa dapat terjadi lagi jika pemerintah tidak berhati-hati.
Tak hanya membahas kabinet, dalam episode EdShareOn ini juga dibahas mengenai perkembangan teknologi dan pentingnya sektor cyber. Eddy mengarahkan diskusi ke topik cyber army yang dikembangkan oleh TNI sebagai salah satu matra baru. Prof. Ikrar memberikan pandangan kritis tentang bagaimana Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan teknologi, terutama dalam hal semikonduktor dan industri digital. Hal ini berpengaruh besar pada kesiapan Indonesia dalam menghadapi era digital, terutama di sektor pertahanan.
Diskusi ini semakin menarik ketika Eddy dan Prof. Ikrar membahas ketidakmampuan Indonesia untuk menarik investor besar seperti Elon Musk. Menurut Prof. Ikrar, masalah lingkungan menjadi faktor utama yang membuat Indonesia kalah saing dengan negara lain, seperti Vietnam. Kritik ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam memajukan industri teknologi dan menarik investasi global.
Tags :