Uli Arta ‘Walhi’: Banjir Sumatera Bencana Ekologis, Perusahaan Harus Tanggung Jawab
Uli Arta saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
Jakarta – Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menyebut kondisi ekologis alam di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, terus menurun fungsi dan kualitasnya. Ini yang memicu terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi itu sejak 26 November lalu. “Ini selaras dengan ekspansi penerbitan izin yang sangat masif oleh pengurus negara melalui kementerian terkait,” kata Uli saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 10 Desember 2025.
Per 10 Desember 2025, tercatat ada 969 korban meninggal dunia dan 252 orang hilang karena bencana banjir Sumatera. Besarnya bencana membuat infrastruktur di tiga provinsi rusak parah, mulai dari jalan nasional, lahan pertanian, bangunan rumah, sekolah, fasilitas kesehatan, jembatan, saluran irigasi, hingga kelistrikan. Satu juta warga juga diperkirakan mengungsi akibat bencana ini.
Walhi menganggap yang terjadi di Sumatera adalah bencana ekologis, bukan bencana alam. Belajar dari penanganan kasus Lumpur Lapindo, jika ditetapkan sebagai bencana alam, korporasi tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh mereka. Namun jika statusnya bencana ekologis, pihak penyebab kerusakan harus bertanggung jawab memulihkan.
Adapun banjir Sumatera, dipicu deforestasi masif sebagai efek aktivitas industri ekstraktif. “Bencana ini terjadi karena hilangnya fungsi kawasan hutan,” ujar Uli. Selama 2016-2024, Aceh, Sumut, dan Sumbar kehilangan 1,4 juta hektar tutupan hutan. Deforestasi ini terjadi setelah pemerintah memberikan 631 izin ke perusahaan, atau 637 izin jika ditambah dengan izin Pembangkit Listrik Tenaga Air. “Izinnya sangat masif, dan berlaku di pegunungan Bukit Barisan yang merupakan hulu Daerah Aliran Sungai.”
Walau kerusakan akibat bencana makin besar, namun hingga kini belum ada sikap simpatik dari ratusan korporasi yang beroperasi di sana, apalagi kontribusinya dalam penanganan banjir Sumatera. “Saya tidak melihat itikad baik perusahaan. Padahal mereka aktor non-negara yang menerima manfaat paling besar dari eksploitasi alam,” kata Uli.
Ia menganggap, korporasi terlihat “lepas tangan” karena negara tidak berani memaksa mereka untuk bertanggung jawab dalam pemulihan pasca-bencana. Atau bisa jadi, karena ada oknum korporasi yang punya relasi kuat dengan penguasa. “Jika kita cek, 60-70 persen anggota legislatif dan menteri kita latar belakangnya pengusaha. Relasi ini membuat mereka enggan melakukan penegakan hukum.”
Uli Arta menyebutkan, tiga menteri harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di Sumatera. Yakni Menteri Kehutanan sebagai pihak yang menerbitkan izin sektor kehutanan (PBPH) dan perubahan fungsi kawasan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang menerbitkan HGU untuk perkebunan sawit, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang menerbitkan izin tambang.
Perlu Moratorium Permanen untuk Cegah Laju Deforestasi
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menganggap izin terkait deforestasi lahan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sudah tidak terkontrol. Kerusakan ekologis akibat aktivitas ekstraktif dan konsesi di kawasan Bukit Barisan jadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang dan longsor Sumatera pada akhir November lalu.
Karena itu Walhi merekomendasikan agar pemerintah menetapkan moratorium izin secara permanen sembari memperbaiki tata kelola yang ada. “Hanya dengan itu kita bisa mengurangi eksploitasi hutan dan risiko korupsi. Jangan terbitkan izin baru, dan pakai teknologi pemantauan seperti di Brazil (satelit realtime),” katanya kepada Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn.
Selain moratorium, Walhi juga menilai perlu adanya audit lingkungan dan evaluasi perizinan secara menyeluruh. Ini menjadi langkah awal yang penting untuk mencegah kerusakan lebih masif. Jika ada korporasi yang secara legal beroperasi di kawasan penting seperti hutan, gambut, maupun pesisir pantai yang berpotensi merusak, maka izinnya harus dicabut.
Begitu pula korporasi yang beroperasi di lahan yang melebihi izin, harus ditindak tegas. Di sisi lain, pemerintah juga harus berani meminta pertanggungjawaban korporasi atas kerusakan ekologis yang terjadi. Apalagi potensi kerugian akibat bencana banjir Sumatera mencapai triliunan rupiah.
“Biaya eksternal seperti dampak lingkungan ini tidak pernah dihitung saat pemerintah menerbitkan izin. (Sementara) pendapatan negara dari sektor ekstraktif mungkin tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan negara untuk menangani bencananya,” ujar Uli. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2017-2022, anggaran negara untuk bencana mencapai Rp101 triliun.
Walhi sendiri sudah melapor ke Kejaksaan Agung terkait potensi kerugian negara di sejumlah daerah di Indonesia akibat bencana ekologis, yang nilainya mencapai hampir Rp300 triliun. “Kami berharap kritik ini berujung pada ‘penghukuman’ politik: jangan lagi memilih orang yang mempolitisasi bencana, dalam Pemilu 2029 nanti,” kata dia.
Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya
Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Ia juga aktif di bidang olahraga dengan menjabat Ketua Harian Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Pacu dan juga pernah menjabat Wakil Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Jakarta Timur. Eddy juga menjabat sebagai Dewan Penasehat Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, masa bakti 2022-2026. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”.
Tags : #EdShareOn #UliArta #siapaeddywijaya #sosokeddywijaya #profileeddywijaya