Bivitri Susanti saat di podcast EdShareOn. (Foto: EdShareOn.com)
JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) memiliki dampak positif untuk kualitas demokrasi di Indonesia. Namun Bivitri meminta semua pihak tetap waspada atas kemungkinan munculnya dampak negatif dari putusan tersebut.
“Saya tidak mau bilang negatif, tapi bisa jadi negatif kalau dibajak oleh partai politik lagi,” ujar Bivitri Susanti saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn, yang tayang pada Rabu, 22 Januari 2025.
MK mengabulkan gugatan 4 mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. MK menyatakan pasal 222 dalam beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini menjadi perhatian publik karena MK menolak 36 gugatan yang sama sebelumnya.
Bivitri menjelaskan upaya pembajakan pada putusan MK tersebut bisa terjadi bila partai politik kembali berupaya membentuk koalisi jumbo untuk mengusung calon tertentu pada pemilu mendatang. Upaya pembajakan lainnya dengan menekan DPR dan KPU untuk merevisi UU Pemilu dengan tujuan membatalkan putusan MK. “Nah, kalau sudah di titik itu kita hanya bisa berharap semoga MK konsisten dengan pandangannya, jadi tidak belok-belok lagi,” ujar Bivitri.
Kendati demikian, dampak positif dari putusan MK tersebut jauh lebih besar. Salah satunya membuat semua partai politik peserta Pemilu dapat mengusung calon presiden dari kadernya sendiri. “Mengapa ini (penghapusan PT) dari dulu diperjuangkan, karena memberikan warga pilihan yang lebih banyak secara fair,” kata perempuan yang akrab disapa Bibib ini.
Bivitri membandingkan situasi politik saat ambang batas calon presiden masih berlaku. Partai politik berskala kecil kesulitan mengusung calon presidennya karena tidak memenuhi aturan ambang batas. Akibatnya mereka terpaksa berkoalisi dengan partai politik yang lebih besar. “Sistem 20 persen threshold itu membuat seakan-akan ada partai politik yang punya golden ticket. Pemilu 2024 kemarin memperkuat fenomena itu sehingga membuka matanya hakim MK,” ucapnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu mengatakan penghapusan aturan ambang batas calon presiden ini juga akan memaksa partai politik lebih terbuka memperkenalkan figur capresnya jauh sebelum Pemilu digelar. “Kalau dulu kita tidak tahu apa-apa, kita cuma bisa menonton para elit makan siang sama siapa, masak nasi goreng segala macam. Jelang pendaftaran kita baru diperkenalkan siapa calon presiden yang mereka tunjuk,” ucap Bivitri.
Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Ia juga aktif di bidang olahraga dengan menjabat Ketua Harian Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Pacu dan juga pernah menjabat Wakil Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Jakarta Timur. Gagasan- gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”.
Tags : #EdShareOn #BivitriSusanti #siapaeddywijaya #sosokeddywijaya #profileeddywijaya